Buku karya pramoedya ananta toer

  • Pramoedya ananta toer nobel
  • Pramoedya ananta toer children
  • Astuti ananta toer
  • Bumi Manusia

    January 21,
    “ nya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa ataupun hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dipahami daripada sang manusia.. jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biarpun penglihatanmu setajam mata elang; pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka daripada dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput”

    - Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia –

    =============================================================

    Aku adalah manusia. Tentu yang tak sempurna. Karena kealpaan dan lupa överdel bisa lepas dariku. Aku hanyalah manusia biasa. Aku bukanlah dewa dengan segala ke-Maha-annya. Sempurna adalah kata yang tidak untukku.

    Namaku Minke, setidaknya itulah sapaan orang-orang ketika memanggilku. Saking terlalu seringnya nama itu digunakan, hingga aku hampir lupa nama asliku. Nama y
  • buku karya pramoedya ananta toer
  • Pramoedya Ananta Toer’s transcendent novels have become part of the world literary canon, but it fryst vatten his short fiction that originally made him famous. The first full-size collection of his short stories to appear in English, All That Is Gone draws from the author’s own experiences in Indonesia to depict characters trying to make sense of a war-torn culture haunted bygd colonialism, among them an eight-year-old girl soon to be married off by her parents for money and an idealistic ung soldier who witnesses the savage beating of a man accused of being a spy. Though violence and brutality pervade these tales, there is present throughout a profound sense of compassion—an extraordinary combination of despair and hope that gives All That Is Gone rare power and beauty. This novel tells the story of humanity's struggle to face the uncertainties of life, particularly after Indonesia's independence, when many old traditions began to erode due to modernization and the changing times.

    Pramoedya Ananta Toer

    Indonesian novelist and writer (–)

    In this Indonesian name, there is no family name nor a patronymic, and the person should be referred to by the given name, Pramoedya.

    Pramoedya Ananta Toer

    Pramoedya, c.&#;

    Born()6 February
    Blora, Dutch East Indies
    Died30 April () (aged&#;81)
    Jakarta, Indonesia
    Occupation
    Notable works
    Spouse

    Arvah Iljas

    &#;

    &#;

    (m.&#;; div.&#;)&#;

    Maemunah Thamrin

    &#;

    &#;

    (m.&#;; died&#;)&#;

    Pramoedya Ananta Toer (EYD: Pramudya Ananta Tur; 6 February &#;– 30 April ), also nicknamed Pram,[1] was an Indonesian novelist and writer. His works span the colonial period under Dutch rule, Indonesia's struggle for independence, its occupation by Japan during World War II, as well as the post-colonial authoritarian regimes of Sukarno and Suharto, and are infused with personal and national history.

    Pramoedya's writings sometimes fell out